Hadang Otorita Suramadu
DPRD Kota Surabaya Tolak Pelenyapan Peradaban

Pemkot Surabaya Ingin Dilibatkan

Rencana pemerintah pusat menjadikan kawasan kaki Jembatan Suramadu sebagai kawasan otorita tak akan berjalan mulus. Pihak wakil rakyat siap menentang jika proyek itu mengorbankan kepentingan rakyat. Sementara pemkot minta dilibatkan.

Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Ahmad Suyanto, menyatakan siap pasang badan jika pemerintah benar-benar menggusur warga kaki Suramadu. Politisi PKS ini berharap proyek pusat ini tetap mengakomodasi nilai-nilai lokal dan budaya asli.

“Kalau memang mau diatur ya diatur agar kampung nelayan itu lebih baik, tidak kumuh. Tapi, ini tak berarti membuat kota baru yang menghilangkan peradaban mereka. Kalau seperti itu tentu kami siap menghadang demi masyarakat,” katanya, Kamis (26/3).

Menurut Yanto (nickname Ahmad Suyanto), meski sudah ada Perpres 27/2008 tentang Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (lembaga yang bertugas membangun dan mengelola kawasan otorita), masih ada celah untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Pepres, katanya, masih perlu petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak). Karena itu, Yanto meminta Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim ikut memperjuangkan kepentingan rakyat. “Pengembangan ini harus jadi komitmen bersama (pusat dan daerah), jangan mementingkan ego masing-masing,” kata Yanto.

Asisten I Sekkota Mukhlas Udin secara tegas sudah menolak Perpres 27/20008. Ia menentang karena dalam peraturan itu pemkot tidak dilibatkan mengelola kawasan 600 hektare di kaki Suramadu.

Mukhlas menuntut pengelolaan kawasan khusus itu tetap diserahkan ke Pemkot Surabaya. Sedangkan Badan Pengembangan Wilayah Suramadu hanya selaku fasilitator. “Kalau untuk otorita jembatan dan jalan, silakan saja dikuasai. Tapi, kalau untuk kawasan 600 hektare itu, harus diserahkan ke daerah masing-masing (Pemkot Surabaya dan Bangkalan),” katanya, Kamis (26/3). Dengan demikian, berarti segala proses perizinan dan kewenangan ada pada pemkot/pemkab.

Kalau pun ada penggusuran, kata Mukhlas, akan dirundingkan dengan warga tergusur. “Kalau masalah penggusuran itu terlalu jauh, kami belum sampai pembahasan ke sana. Tapi, kalau yang mengelola kawasan itu pemkot, pasti dirundingkan dulu. Tapi, kalau pusat yang mengelola, kami tidak bisa apa-apa,” katanya.

Ditanya alasan menghentikan pengurusan sertifikat dan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi warga sekitar Suramadu, Mukhlas mengaku tidak tahu menahu hal itu. “Kalau masalah itu silakan tanya ke Dinas Tata Kota saja ya,” pintanya.

Kepala Balai Besar Jalan Departemen Pekerjaan Umum (pelaksana proyek Jembatan Suramadu) Ir AG Ismail ketika dikonfirmasi mengakui adanya wilayah otorita Suramadu. Menurut Islamil, luas area yang dialokasikan untuk kawasan otorita 1.800 hektare. Terdiri dari 600 hektare di sisi Surabaya, 600 hektare di sisi Madura, dan 600 hektar di sisi Bangkalan utara. Pengelolaan otorita ini di luar proyek Jembatan Suramadu. “Karena tanggungjawab pengelolaan bukan pada kami, makanya pro kontra mengenai hal itu bukan urusan saya,” katanya.

Seperti diketahui, kawasan otorita ini rencananya akan disulap menjadi kawasan baru bergaya modern yang dilengkapi kompleks pertokoan (mal dan plaza), hotel berbintang, dan perumahan mewah.

Tentu saja, untuk mewujudkan hal ini, pemerintah harus menggusur permukiman warga. Tercatat ribuan keluarga di tiga kelurahan, yakni Kelurahan Tambak Wedi dan Tanah Kalikedinding (Kecamatan Kenjeran) serta Kelurahan/Kecamatan Bulak, yang terancam tergusur dari kampung halaman mereka jika kawasan ini benar-benar direalisasikan.

Ancaman ini semakin jelas dengan adanya pembebasan sejumlah lahan di kawasan itu belum lama ini. Indikasi lain tampak adanya kebijakan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tidak melayani pengurusan sertifikat baru di kawasan itu. Selain itu, juga terlihat dari kebijakan Pemkot Surabaya yang menghentikan pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di kawasan sekitar suramadu. (uus/jos)

Menurun Drastis, Nelayan Tolak Rp 3,5 Juta

Nelayan Tambakwedi ini hanya membawa hasil sekantong kepiting hasil tangkapan selama seharian melaut. Sejak ada pembangunan jembatan Suramadu tangkapan nelayan menurun drastis.

Kabar bakal disulapnya wilayah kaki jembatan Suramadu menjadi kawasan otorita khusus ternyata sudah didengar warga Kelurahan Tambakwedi, Kecamatan Kenjeran. Jauh hari sebelumnya, mereka sudah didekati pihak-pihak tertentu agar mau menyerahkan tanahnya untuk proyek prestisius pemerintah pusat itu.

Para broker itu mengiming-imingi warga dengan harga Rp 3,5 juta per meter persegi lahan. Namun, tawaran itu tidak menggoyahkan mental sebagian warga. Sahir, 55, warga RT 2/RW 2 Kelurahan Tambakwedi, dengan tegas menolak tawaran itu.

Nelayan ini mengaku bertekad mempertahankan tanah warisan leluhur. Alasannya, sudah bertahun-tahun ia dan keluarga hidup melaut di sana. “Kami tidak akan menjual tanah, meski dibeli Rp 3,5 juta/m2. Uang segitu beberapa hari saja habis. Kalau jadi nelayan begini meski hasilnya sedikit tapi kan bisa seterusnya,” kata Sahir yang baru saja pulang dari melaut, Kamis (26/3).

Sahir khawatir jika tawaran itu diterima, nasibnya akan sama dengan nelayan Cerme, Gresik, korban penggusuran beberapa waktu lalu. “Nelayan di sana setelah digusur menganggur, karena bekerja di darat tidak bisa lantaran ijazah cuma SD. Kami tidak mau seperti mereka,” imbuh bapak enam anak ini.

Sapik, nelayan lainnya, meminta pemerintah tidak memaksakan kehendak untuk membuat kawasan khusus di wilayah kaki Suramadu. Menurut Sapik, saat ini saja ketika Suramadu baru dibangun sudah menimbulkan masalah pelik bagi nelayan, apalagi nanti kalau otorita Suramadu itu benar-benar direalisasikan.

Diakui Sapik, sejak ada pembangunan Jembatan Suramadu hasil tangkapan ikan turun drastis. Bahkan, untuk jenis tertentu seperti lorjuk, awung, dan kerang, kini sudah musnah karena habitatnya dirusak lumpur beton dan suara paku bumi yang ditancapkan ke dasar laut. Laut sekitar jembatan hanya menyisakan jenis ikan keting, nila, dan ikan pari.

“Untuk cari kepiting dan rajungan sekarang harus lari ke laut sekitar Bandara Juanda karena di daerah sini sudah tidak ada,” kata bapak dua anak ini. Hasil tangkapan yang didapat pun tidak sebanding dengan biaya bensin yang dikeluarkan. “Sekali jalan kami habis lima liter, tapi dapatnya cuma lima ekor kepiting. Gak nyucuk,” keluh Sapik.

Sugiwan, 29, nelayan lain mengaku seringkali hanya mendapat hasil Rp 20.000 sekali jalan. Ini berbeda dengan sebelum ada pembangunan jembatan yang minimal mendapatkan Rp 50.000 sekali jalan.

Saat ini, di wilayah Suramadu ada sekitar 160 nelayan yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni kelompok cumi-cumi 50 nelayan, kelompok mandiri 32 nelayan, dan kelompok kerapu 78 nelayan. “Sekarang ini hidup serba sulit, masak pemerintah tega menggusur kami. Pokoknya, kami tidak akan pindah dari sini,” kata Sugiwan. (uus)

Sumber: Surya, 27/03/09

0 Comments:

Post a Comment

<< Home