Pengungsi Sampit di Pasar Keputran (2)

Tak Betah Makan Ketela Pohon, Pindah ke Surabaya

Kerusuhan di Sampit, Kalimantan Tengah, dipandang sebagai tindakan kejam dan sadis. Komnas HAM pun membentuk komisi penyelidikan sebab ditengarai konflik itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Apapun langkah yang diambil pemerintah Indonesia saat itu hingga sekarang, Matdu'i tetap berpegang pada prinsipnya. Bekerja untuk hidup.

Kamis siang. Sekitar pukul 14.00. Seorang teman berteriak. "Mat, lari Mat! Orang Dayaknya sudah datang!" Suara si teman itu terdengar keras. Mengagetkan Matdu'i yang sibuk masak di dapur. Penggorengan yang memanas di atas kompor ditinggal Matdu'i begitu saja. Hanya satu yang terpikir oleh Matdu'i. Lari secepatnya menuju sungai di belakang rumah pengungsian.

Sementara, kantor Kecamatan Pasar Kuala dialihfungsikan sebagai tempat penampungan orang Madura saat konflik terjadi di Kalimantan Tengah pada 20-23 Februari 2001. Matdu'i tahu tempat itu berkat teman Dayak baik hati yang dimilikinya.

Matdu'i tidak sendirian ketika melarikan diri. Tiga orang teman sesama suku Madura mengikutinya di belakang. Samar-samar, suara pasukan suku Dayak meneriakkan sesumbar peperangan terdengar semakin dekat. Tombak menghunus di tangan. Seperti mencium mangsanya, mereka mengejar Matdu'i dan teman-temannya.

Lincah menyusuri sungai, sampailah Matdu'i dan temannya di hutan. Membuatnya selamat dari kejaran orang Dayak. Duri dan cabang pohon yang menggores kulit tak dihiraukan. Perih. Tapi, Matdu'i tak ingin meninggal di tangan orang Dayak. Lari beberapa kilometer membuatnya lelah. Kadang, mereka berhenti sejenak. Mengistirahatkan badan. Hingga datang sebuah kapal feri yang datang menyelamatkan mereka. Menuju Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. "Ada 250 orang yang ada di atas kapal. Saya dan teman-teman adalah pengungsi terakhir dari Kuala Pambuang," tutur Matdu'i.

Niat pulang ke kampung tempat orangtua dan saudara tinggal, urung dilakukan. Uang Rp 200.000 yang ditawarkan ke pengemudi kapal tidak digubris. Tidak ada yang berani mendekati Desa Bandaran Jaya, Bepinang Hilir, Buluhan Naot, Sampit. Di sana, pertikaian berlangsung sengit. Orang Dayak sudah menguasai Sampit. "Saya lupa hari apa itu. Pokoknya bulan Ruwah menurut orang Madura. Uang yang ada di kantong celana saat itu hanya Rp 85.000," kenang Matdu'i.

Sebagai waria, penampilan Matdu'i sederhana. Warna kaus dan celana jinsnya sudah pudar. Rambut sebahu juga ditata seadanya. Bagian tengah diikat menjadi satu di belakang. Wajah pun minim make up. Cuma bedak dan pelembap bibir yang menempel di sana. Lambaian tangan dan gaya bicara yang mirip perempuan membuatnya berbeda dengan laki-laki kebanyakan. Ketika berada di Kuala Pambuang, Kalimantan Tengah, Matdu'I bekerja sebagai pengasuh kantin di sebuah pabrik kayu.

Dia tidak tahu menahu tentang apa sebenarnya yang terjadi di Sampit sejak 18 Februari hingga pertengahan April 2001. Kabar yang terdengar, orang Dayak membunuh banyak orang Madura. Pencarian suku Madura dilakukan di mana-mana, merata di seluruh Kalimantan Tengah. Matdu'i terlahir sebagai anak ketujuh dari 13 bersaudara. Namun, yang hidup tinggal delapan orang. Kedua orangtunya berasal dari Sampang dan menikah di sana. Waktu berada di Sampit, orangtuanya tinggal bersama anak, menantu, dan cucu.

Matdu'i merupakan sosok yang mandiri. Meski dia menjalani kehidupan cross gender. Saat konflik, Matdu'i terpisah dari keluarga. Tengah mengadu nasib di Kuala Pambuang. Jarak rumah dan tempat bekerja lumayan jauh. Empat jam lewat jalur darat dan seharian lewat laut.

Keluarga Matdu'i sampai lebih dulu di Sampang setengah bulan lamanya. Pada rentang waktu itu, keluarganya sudah menggelar Tahlilan. Dikiranya, Matdu'i sudah meninggal dunia. "Ibu saya sakit waktu itu. Begitu saya datang, ibu langsung bangun dan mampu duduk," ujar Matdu'i. Sebagai anak yang memiliki perilaku seksual berbeda dengan saudara lainnya, Matdu'i menjadi anak kesayangan ibunya.

Kini, Matdu'i mencoba mencari peruntungan di Surabaya. Tidak pernah terbersit keinginan kembali ke Sampit. "Seorang teman yang melarikan diri dari Kuala Pambuang dan kakak saya sempat balik ke Sampit. Tapi akhirnya mereka juga mati oleh orang Dayak," ungkap Matdu'i. (Marta Nurfaidah) >>bersambung

Sumber: Surya, Saturday, 12 January 2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home