Tradisi Ngonjur

Warga di Desa Tanjung masih melestarikan tradisi ngonjur. Tradisi meminta ikan pada nelayan yang baru melaut ini dianggap hal wajar dan biasa, khususnya pada musim ikan.

Jika di Kecamatan Pragaan ada desa yang warganya memiliki tradisi mengemis, di kampung nelayan Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, punya tradisi lain, tradisi ngonjur (berselonjor). Bedanya, jika tradisi mengemis dilakukan warga Kecamatan Pragaan di luar daerah, tradisi ngonjur justru dilakukan di desa setempat.

Tradisi ngonjur yang telah telah berlangsung lama di pesisir Desa Tanjung ini, dianggap hal biasa. Sebab, tradisi ini dianggap sebagai bentuk solidaritas sosial dan kebersamaan.

Dari penuturan warga setempat, tradisi ngonjur merujuk pada arti bahasanya. Yakni, tindakan berselonjor yang merujuk pada sikap ketidakberdayaan. Biasanya, sikap berselonjor ini dilakukan oleh pengemis di pinggir jalan.

"Tidak ada yang tahu persis mengapa disebut ngonjur. Namun, katanya, karena dulu pelaku ngonjur kerap berselonjor kaki di pinggir jalan," ujar Sitram, warga Desa Tanjung, kepada koran ini, kemarin.

Kini, jelas dia, tradisi ngonjur tidak lagi bisa disebut merujuk pada arti bahasanya. Sebab, tradisi ini tidak lagi dilakukan di pinggir jalan, melainkan dengan cara mendekati nelayan yang baru bersandar. "Di sini, ngonjur ini sudah dianggap biasa. Namun, pada musim ikan saja. Dan, nelayan biasa memberikan seikhlasnya. Kalau tidak ada ikan, ya tidak diberi," jelas Sitram.

Pelaku tradisi ngonjur bisa dari berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orangtua. "Karena dianggap biasa, jadi tidak ada masalah. Dan, warga tidak risih. Tapi, kebanyakan memang anak-anak yang melakukannya," ujar Sarati, warga Desa Tanjung lainnya ditemui saat-saat menimbang ikan, kemarin.

Karena didasari sikap ikhlas dari pemberinya, pelaku ngonjur ada yang beruntung dan ada juga yang "buntung". Khususnya, terkait dengan perolehan ikan hasil ngonjur. "Kalau mujur, anak-anak sekolah itu bisa dapat ikan 7 sampai 10 kg. Juga tergantung ikannya, kalau ikan jagur harganya kan Rp 2.000 per kg. Jadi, dalam waktu kurang lebih 20 menit bisa dapat Rp 20 ribu," jelas Sarati.

Biasanya, bagi anak-anak seumuran kelas 4 sampai kelas 6 SD, melakukan tradisi ngonjur saat mentari baru bersinar. Saat itu, nelayan baru saja bersandar dari melaut. "Anak-anak biasanya dapat banyak. Sebab, kebanyakan langsung mendekat ke nelayan di dekat perahu."

"Setelah mendapat banyak ikan, biasanya dijual kepada pengepul. Atau bisa juga dititipkan kepada keluarganya yang pedagang ikan di pasar," imbuh Sarati.

Kemarin, sekitar pukul 07.00, koran ini melihat sendiri beberapa anak-anak di kampung nelayan Desa Tanjung yang melakukan tradisi ngonjur. Mereka terlihat sudah biasa. Tanpa rasa canggung, mereka mendekati nelayan yang baru datang. Sang nelayan pun terlihat sudah paham. Ketika melihat anak-anak membawa wadah ikan, langsung direspons nelayan dengan mengambil ikan dan memberikannya kepada anak-anak itu.

Lalu, anak-anak nelayan itu mengumpulkan hasil "tangkapannya". Setelah ikannya banyak, lalu dijual kepada pengepul. Kemudian, dengan riangnya anak-anak tadi membeli aneka makanan dari hasil penjualan ikannya. Sementara para nelayan terlihat seperti tak perduli. Mereka asyik dengan aktivitasnya masing-masing, menurunkan ikan ke daratan.

"Baru 2 hari ini ada ikan lagi. Biasanya, tidak ada ikan. Makanya, banyak nelayan tidak melaut lantaran tidak cukup biaya operasional. Mungkin, ini cobaan bagi nelayan di sini," kata seorang pengepul ikan. Beberapa ikan hasil tangkapan nelayan Desa Tanjung seperti ikan teri, jagur, layur, udang, dan sebagainya. (AKHMADI YASID)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 12 Feb 2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home