Buah Naga Tanaman Alternatif

Harus Telaten, Panen setelah Tujuh Bulan

Setelah tembakau terancam tak lagi menggapai puncak keemasan, terbersit ide petani untuk memunculkan tanaman alternatif. Termasuk petani di Desa Rombesen, Sumenep, yang melirik tanaman alternatif yang menghasilkan buah naga.

Memasuki Desa Rombesen, seperti memasuki kawasan kaktus. Tetapi, kaktus ini bukan pelengkap asesoris taman, tapi telah melalui proses kawin silang dengan kaktus lain yang menghasilkan buah naga.

Semula, buah naga ini dikenal di luar negeri sebagai hou lung kuo, khususnya di Vietnam. Tetapi kini, warga Desa Rombesen sejak tahun lalu telah memulai tanaman batang kaktus yang menghasilkan buah naga tersebut. Ini setelah tanah Rombesen dinilai cocok untuk ditanami kaktus untuk menghasilkan buah naga yang berkualitas.

Di lahan seluas kurang lebih 1,5 hektare, para petani di Rombesen rela berjemur di tengah ratusan pohon buah naga. Mereka mengontrol tanaman agar tidak bercabang di bagian bawah. Sebab, jika kaktus itu bercabang di bawah, perkembangannya kurang baik.

Karena itu, petani memotong salah satu cabang kaktus agar batang tubuhnya semakin merambat ke atas. Begitu sampai di atas melampaui batas sandaran yang dibuat dari beton setinggi 1,5 meter sampai 2 meter, batang itu dibiarkan bercabang. Sebab, semakin banyak cabang di atas, akan memperbanyak bunga yang pada akhirnya menjadi buah naga.

Seorang petani, Mukhlish, 38, yang dijumpai di tengah-tengah pohon buah naganya mengatanan, menanam pohon tersebut butuh ketelatenan. Misalnya, 2 hari sekali disiram. Siraman ini pun tidak boleh lebih dari kadar yang diperlukan. Sebab, kelebihan air akan menghasilkan buah yang kurang bertahan lama.

Selain itu, diperlukan pupuk kandang yang dinilai cukup baik bagi pertumbuhan pohon. Pada usia tanam mencapai 6 bulan, pohon mulai berbunga. 40 hari kemudian, kaktus itu telah menghasilkan buah naga yang siap petik. Konon, buah naga membantu menyembuhkan diabetes hippertensi, dan kanker usus.

Menurut pria yang tak lain Kades Rombesen ini, awal mula ide menanam buah naga ini bermula konsultasi dengan seorang warga Taiwan. Lelaki asing yang dipanggilnya Mister itu, mengaku tertarik dengan tanah Rombesen yang sedikit berpasir. Kemudian, tanah Rombesen diambil sampelnya, lalu ditindaklanjuti dengan datang ke lokasi.

Hingga kemudian, penanaman dimulai dengan membenamkan batang kaktus di atas lahan yang telah dipotong antara 60 cm-70 cm. Dia bilang, pertumbuhan berikutnya, kaktus yang ditanam membuahkan hasil dan diburu konsumen. Baik dibeli satuan seharga Rp 14 ribu- Rp 15 ribu, atau per kg dengan harga jual di kisaran Rp 30 ribu-Rp 32 ribu. "Buah naga ini pantas dilestarikan untuk pemberdayaan petani, selain menanam tembakau dan lainnya," paparnya sambil memperlihatkan buah naga yang siap dipetik.

Berkait dengan buah naga ini, Direktur Eksekutif The Society Development Centre Mohamad Badrul meminta pihak terkait agar mendukung inovasi petani. Alasan dia, petani telah membuktikan usahanya untuk menanam tumbuhan alternatif selain tembakau, jagung, dan kedelai sesuai anjuran pemkab menyusul terpuruknya tembakau beberapa tahun lalu.

Selain itu, dia meminta petani lokal Madura agar mendukung potensi ini. Salah satu caranya, tidak mendatangkan buah naga dari luar yang kualitasnya di bawah buah naga lokal. Sebab, jika buah naga nonlokal marak di sekitar buah naga lokal, hukum pasar berbicara. Yakni, barang banyak dan harga turun. "Apalagi, buah yang didatangkan dari luar Madura kadar airnya banyak dan cepat membusuk," ujarnya. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 14 Feb 2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home