Pelaku Carok Tak Pernah Jera

Pamekasan-Surya Meski aparat sudah berupaya menekan kasus carok di Madura, dalam dua tahun terakhir kasus itu justru mengalami peningkatan dari 27 kasus menjadi 36 kasus. Malahan pertengahan 2006 lalu terjadi carok massal yang merengut tujuh korban tewas.

Meski carok kini sudah dibenci masyarakat Madura, namun tradisi kontak fisik menggunakan senjata tajam yang menyebabkan korbannya terluka atau meninggal itu hingga kini masih sering terjadi. Malahan dalam dua tahun terakhir kasus itu mengalami peningkatan. Tahun 2005, terjadi 27 kasus, pada 2006 meningkat menjadi 36 kasus. Malahan hingga pertengahan Januari 2007 ini sudah tercatat empat nyawa yang melayang akibat carok.

Dari serangkaian pembunuhan yang dikaitkan dengan carok, sebagian besar berlatar belakang harga diri. Kehormatannya terinjak-injak, sehingga darah panasnya mendesir dan emosinya memuncak, kemudian timbul niat membalas sakit hatinya dengan cara menghilangkan nyawa orang yang telah membuat dirinya malu.

Seperti kasus carok massal di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumar-mar, Pamekasan pertengahan Juli 2006 lalu yang menewaskan tujuh orang dan melukai sembilan orang. Kini dari 18 pelaku yang terlibat dalam kejadian itu, sejak Kamis (11/1) lalu, kasusnya sudah mulai disidangkan di PN Pamekasan.

Untuk mencegah berulangnya carok, berbagai upaya sudah ditempuh. Baik oleh pemerintah, ulama, tokoh masyarakat dan aparat keamanan. Termasuk hukuman berat bagi pelaku carok, hingga di tahan di Pulau Nusakambangan. Tapi semua langkah itu belum mampu membuat pelakunya jera.

Kapolwil Madura, Kombes Pol Badrun Arifin, kurang sependapat, jika tindakan menghilangkan nyawa orang lain itu disebut carok. Sebab, pelaku yang berhasil membunuh musuhnya tidak menyerahkan diri, tapi bersembunyi dan kabur dari kejaran petugas.

"Aksi pembunuhan yang terjadi sekarang bukan lagi carok, tapi tindakan kriminal murni. Biasanya pelaku carok seusai membunuh masih menenteng senjata tajam yang digunakan untuk membunuh, mendatangi kantor Polsek atau Polres untuk menyerahkan diri," papar Badrun Arifin.

Kapolwil mencontohkan, kasus pembunuhan yang dilakukan tiga orang pemuda di Bangkalan awal Januari 2007. Ketiga pelaku membantai korbannya saat lengah. Persoalannya juga sepele, korban menampar pipi salah seorang pelaku di depan umum.
Namun, Kapolwil mengakui jika masyarakat Madura mudah emosi dan terpicu untuk konflik yang berujung kematian. Persoalannya, dari yang sepele hingga harga diri. Di antaranya saling olok, salah paham, rumput di sawah, perempuan, warisan dan balas dendam.

Untuk menekan timbulnya carok, pihaknya telah memberikan pemahaman agar masyarakat patuh hukum. Manakala timbul persoalan, tidak diselesaikan dengan kepala panas, tapi lewat musyawarah. Selain itu, setiap kasus pembunuhan, petugas maksimal menyelesaikan sampai tuntas hingga disidang dan menangkap pelaku yang terlibat.
"Kami mengajak peran serta masyarakat bersama-sama membantu tugas polisi. Baik dalam upaya pencegahan, penegakan hukum, yakni dengan memberikan informasi dan kesaksian," ujarnya.

Apalagi sampai sekarang kebiasaan sebagian masyarakat Madura terutama di pedesaan kalau keluar rumah membawa senjata tajam (celurit dan pisau khusus). Kebiasaan tidak baik ini juga bisa memicu timbulnya pembunuhan.

Untuk menekan masyarakat tidak terbiasa membawa senjata tajam, sering dilakukan razia di beberapa tempat seperti jalan raya masuk kota dan setiap pagelaran keramaian. Manakala ada warga ketahuan membawa sajam yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, pemiliknya diperiksa dan barang buktinya disita petugas.

"Kini warga Madura yang membawa sajam sudah jauh berkurang dibanding beberapa tahun lalu. Kebiasan membawa sajam ini hanya dijumpai di masyarakat pedesaan. Jika terjadi pembunuhan, petugas mempertemukan keduanya agar tidak saling membalas," tandas Badrun Arifin. (st30)

Sumber: Surya, 15/01/07

0 Comments:

Post a Comment

<< Home