Sepi di Buker Atas
Datanglah ke Dusun Buker Atas, Desa Buker, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang. Siang hari, yang terasa adalah kekeringan, juga sepi. Di malam hari, Anda mungkin lupa sedang berada di Indonesia. Suasana gelap gulita, listrik tak ada. Sementara, dalam banyak perbincangan, yang muncul adalah keluh kesah, juga keterpaksaan untuk pasrah pada keterbelakangan yang mendera warga.
Oleh: Achmad Hairuddin
Suasana terpencil dan terisolasi sangat terasa ketika memasuki pemukiman penduduk di Dusun Buker Atas. Dikelilingi bukit kapur, jalan bebatuan yang cukup terjal dan menanjak sepanjang 4 km merupakan satu-satunya akses menuju dusun tersebut. Jika tidak hati-hati, kendaraan bisa terpeleset karena jalannya licin dan sulit dilalui setelah diguyur hujan deras.
Di dusun ini, jarak antar-rumah penduduk saling berjauhan. Warga yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan itu terpencar-pencar. Maklum, mata pencaharian sebagian besar mereka adalah petani tadah hujan dan buruh tani.
Salah satunya Mbah Sarinti. Nenek yang diperkirakan berumur mendekati 80-an tahun ini tinggal bersama anaknya, Zainal, menantunya, Ruhah, serta 5 cucunya. Mereka tinggal di gubuk dari gedek (anyaman bamboo) berlantaikan tanah. Jangan mencari kabel, apalagi tiang listrik di sekitar rumah ini. Di seluruh dusun, listrik tak ada. Siang berlampukan matahari, malam mengandalkan lampu teplok.
Saat pertama hendak ditemui, mereka menampakkan tatapan curiga, tersirat pula ketakutan. Meski tak berbuat salah apa-apa, mereka menduga yang datang adalah polisi. Jelas sekali mereka jarang berinteraksi dengan orang asing.
“Bi’ kaula sampeyan sanggu nagarah, daddi kaula tako’. Polannah rangrang oreng kotta dha’ ka’dintoh (saya kira Anda polisi, karena itu saya takut. Jarang orang kota yang masuk ke sini),“ kata Zainal. Dia juga menolak difoto.
Kondisi membuat mereka jarang berinteraksi dengan dunia luar. Untuk menuju ibukota kecamatan saja, mereka harus berjalan kaki sejauh 10 km menuju jalan poros desa. Dari sana baru bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek. Karena itu warga dusun enggan keluar, sementara orang lain enggan datang. Mereka seakan terputus dari peradaban.
Jangan tanya tentang bencana luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo. Apalagi bencana terbaru, tanah longsor di Solok, Sumatera Barat. Mereka tidak mengetahuinya. Listrik tak ada, televisi apalagi.
"Manabi ampon malem, sadajanah keluarga enggi langsung asaren. Alako napah pole TV ta’ geduan. (Kalau sudah malam, seluruh keluarga langsung tidur. Mau apa lagi, wong TV saja tidak punya)," lanjut Zainal.
Malam hari, bagi mereka, adalah periode yang sangat pendek. Selepas maghrib, sebagian anak-anak mengaji dalam remang cahaya lampu teplok. Sebagian musala saja yang dilengkapi lampu petromaks. Selepas isya, kantuk menyerang lebih cepat daripada di kota. Gelap, sepi, apalagi yang bisa dinanti?
Daftar Rencana
Camat Jrengik, Djoko Wiratno, mengakui dari 14 desa di wilayahnya, sebagian memang masih sangat tertinggal dan terisolasi, seperti Desa Asem Nonggal dan Buker. Dengan alasan letak geografis desa tersebut di lereng pengunungan, pembangunan infrastruktur berupa jalan dan listrik belum menjangkaunya. Di samping itu, menurut Djoko, ada beberapa faktor sehingga Kecamatan Jrengik sulit berkembang dan tertinggal.
"Saya tengah menginventarisasi semua jalan desa, baik yang sudah beraspal, makadam serta tanah. Selain itu saya juga mengupayakan untuk membangun pasar palawija di ibukota kecamatan, karena yang ada selama ini hanya pasar desa, sehingga roda perekonomian bergerak sangat lambat. Saya mengusulkan untuk membangun sarana kesehatan yang memadai dengan menambah lagi satu unit Puskemas, serta sarana pendidikan berupa gedung SMP dan SMA," kata Djoko yang baru 5 bulan menjabat di Jrengik.
Daftar rencana Djoko memang banyak, juga bagus. Pertanyaannya, segerakah daftar rencana itu bisa direalisasikan?
Jawabannya ada pada kepedulian dan kesungguhan pemerintah. Di Kecamatan Jrengik, ada 4.389 rumah tangga miskin, penduduk tanpa akses listrik mencapai 91,97 %. Sebanyak 14 desa tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, dan angka harapan hidupnya pun rendah. Akankah keadaan sulit ini kembali terlupakan?(*)
Sumber: Surabaya Post, 16/12/06
0 Comments:
Post a Comment
<< Home