Muncul Sejak Zaman Kolonial

TIDAK diketahui pasti sejak kapan tradisi carok di Madura mulai muncul. Hanya saja sebagian tokoh Madura mengatakan, tradisi carok mulai mencuat sejak zaman penjajahan Belanda. Carok pada zaman Belanda berbeda dengan carok yang terjadi saat ini. Sekarang jika ada orang berkelahi menggunakan senjata tajam hingga ada yang tewas, masyarakat langsung menilai telah terjadi carok.

Menurut Sjafiuddin Miftah, salah seorang pengamat carok di Madura, carok pada masa lalu, merupakan perang tanding antara satu orang melawan satu orang atau lebih. Sebelum perang tanding, masing-masing mengadakan perjanjian mengenai penentuan tempat arenanya, hari dan waktunya.

Setelah disepakati, mereka melapor kepada penguasa setempat untuk carok. Arena carok itu diberi tanda berupa bendera dan disaksikan banyak orang. Usai membunuh musuhnya, pelaku tidak kabur, tapi dengan celurit yang masih menempel darah segar, pelaku melapor kepada aparat untuk menyerahkan diri.

Sedangkan carok yang terjadi sekarang tidak lagi saling berhadap-hadapan tapi mencari kelengahan musuhnya untuk melampiaskan niatnya. Usai membunuh pelaku juga melarikan diri. "Memang ada satu, dua orang yang melapor ke petugas, tapi itu jarang terjadi. Malah yang lebih banyak kabur menyelamatkan diri," ujarnya. Sjafiuddin, yang juga Ketua Dewan Kesenian (DKP) Pamekasan, akrab dipanggil Bang Ndut menambahkan, walau pelaku sudah dihukum berat lebih 10 tahun, tidak membuat kapok pelakunya.

Dikatakan, yang paling memicu timbulnya carok, manakala harga diri dipermalukan. Seseorang yang semula penakut, lantas berani untuk carok. Contohnya, jika tunangan, istrinya digoda orang lain atau orang tuanya dibunuh, keluarganya kemudian membalas dendam. Meski kehendak hatinya persoalan itu tidak diselesaikan lewat carok, namun sanak familinya memprovokasi dan menekan agar membuat perhitungan dengan orang yang telah menginjak harga dirinya. Sehingga muncul kesan lebih baik putih mata dari pada putih tulang. Artinya, lebih baik mati daripada menanggung malu.

Menurut Sjafiuddin, kalau ada kelurga yang dihukum karena carok, mereka berbondong-bondong untuk membesuk. Dan di wajah para pembesuk itu tidak terlintas wajah kesedihan, lantaran mereka menganggap keluarganya yang dihukum, ibarat menuntut ilmu.

Dikatakan, sulitnya menghapus carok, manakala salah satu keluarganya meninggal akibat carok, jenazahnya tidak dikubur di pemakamam umum tapi di halaman rumahnya. Ini untuk mengingatkan pada anak cucunya agar dendam itu terbalaskan. (st30)

Data Kasus Carok di Madura.
2005 27 kasus
2006 36 kasus
Pertengahan Januari 2007 4 kasus
Sumber: Polwil Madura


Sumber: Surya, 15/01/07

0 Comments:

Post a Comment

<< Home