Banyak Sarana Prasarana di Madura Rusak

SP/Etto Hartono
Banyak sarana dan prasarana di Madura yang rusak kendati dana dari pusat berlimpah

Padahal, ratusan miliar dana setiap tahunnya tidak terserap dan harus dikembalikan ke pusat

Gerak laju pembangunan di Pulau Garam Madura perlu terus ditingkatkan. Pasalnya, setiap tahun selalu ada dana dari pemerintah pusat melalui anggaran APBN yang harus dikembalikan karena belum terserap secara maksimal. Ironisnya, dana tersedia, namun masih banyak infrastruktur rusak yang tak kunjung diperbaiki.

“Tahun 2011 saja, ada dana sebesar Rp 295 miliar yang tidak terserap, sehingga harus dikembalikan lagi ke pemerintah pusat,” kata Achsanul Qosasi, anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur XI (Madura), di Sumenep, Sabtu (14/1) pagi.

Anggaran tersebut, kata dia, untuk pembebasan lahan seluas 600 hektare dari kaki Suramadu sisi Madura sampai Petik Emas (Utara Bangkalan). Di daerah itu akan dibangun jalan tol, sehingga lebih mempercepat laju ekonomi warga Madura.

“Saya juga ingin ada masjid besar disisi Madura. Saat ada tamu masuk wilayah Madura, maka yang akan terasa yakni religiusitas warga Madura. Ini sangat perlu terealisasi, sehingga Madura tidak akan kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang agamis,” ungkapnya.

Legislator Partai Demokrat ini menilai, pembangunan infrastruktur jalan raya dari Kabupaten Bangkalan menuju Sumenep juga masih perlu peningkatan. Pelebaran dan perbaikan yang seharusnya tuntas pada tahun anggaran 2011 lalu, kenyataannya masih banyak yang bergelombang.

Menurut dia, anggaran dari APBN banyak yang tidak terserap maksimal dan dikembalikan lagi kepemerintah pusat. Jika sudah dikembalikan, maka susah untuk dianggarkan kembali pada tahun berikutnya. “Setiap kali ada anggaran dari APBN, seharusnya dapat terserap secara maksimal, sehingga target pembangunan di 4 kabupaten di Madura lebih cepat,” katanya.

Dengan adanya Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura, Suramadu (BPWS), seharusnya pembangunan di Madura sudah pesat. Namun, karena BPWS terhalang dengan aturan, maka pengembangan Madura belum maksimal. “Saya sepakat jika BPWS itu dijadikan Badan Layanan Umum (BLU), sehingga bisa mengambil kebijaksanaan sendiri dalam merealisasikan anggaran,” katanya.

Selama ini, BPWS sebagai lembaga yang selalu harus berkoordinasi dengan lima kepala daerah dalam menata dan mengelola pembangunan di sekitar Jembatan Suramadu. Meski sering kesulitan dalam mempertemukan kepentingan lima kepala daerah untuk merumuskan program.

Lima kepala daerah yang dimaksud yakni, empat kepala daerah di Madura dan kota Surabaya. Lima kepala daerah tersebut, tentunya mempunyai program berbeda-beda. Namun, untuk empat kepala daerah di Madura jangan sampai berfikir hanya pembangunan di daerah masih-masing.

“Kalau berbicara soal pembangunan di empat kabupaten, ya bicara pembangunan Madura secara umum. Jangan saling mengedepankan atau saling sikut untuk pembangunan di daerahnya masing-masing. Empat kepala daerah di Madura harus bersatu,” tegasnya.



Keberadaan BPWS, kata dia, merupakan alat pemersatu yang harus berfikir jernih dalam pembangunan diwilayah lima pemerintahan daerah. Keinginan sebagian warga Madura tentang anggaran APBN yang harus diserahkan pada masing-masing pemerintah daerah bukan solusi tepat. Tetapi, akan muncul persoalan lain.

“Anggaran pembangunan jembatan Suramadu itu tidak murni dari APBN. Melainkan hutang negara yang harus dilunasi. Setiap hari harus menutupi bunga sebesar Rp 300 juta. Jika dana yang selama ini masuk ke BPWS lalu akan dikelola pemerintah daerah, akan muncul pertanyaan, siapa yang akan bayar hutang itu,” ujarnya.

Untuk itu, dia tidak sepakat jika BPWS itu dibubarkan seperti yang diinginkan kaukus parlemen Madura. “Sebaiknya, empat kepala daerah di Madura bersatu dan mendukung bagaimana Madura sama-sama maju dan tidak saling mengedepankan daerahnya masing-masing,” ungkapnya.

Keberadaan Jembatan Suramadu, kata dia, hanya mempercepat transportasi ke Madura. Namun, manfaat lain belum bisa dinikmati oleh masyarakat Madura pada umumnya. Madura yang seharusnya mempunya fasilitas umum yang layak untuk para tamu dari luar daerah, hingga saat ini belum ada.

“Hotel bintang lima misalnya, belum ada, sehingga tamu dari luar belum merasa betah di Madura. Mereka hanya datang dan pulang kembali. Sehingga, sirkulasi keuangan tetap terjadi di Surabaya,” tandasnya. (md2)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 14/01/2012

Labels: , , , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home