Sekolah ‘Laskar Pelangi’ yang Dibiarkan Mati

Melihat kondisi gedung SDN Asem Nunggal II Kec. Jrengik, Sampang yang sangat memiriskan, mengingatkan orang pada replika bangunan SD Muhammadiyah Gantong dalam film Laskar Pelangi. Bangunan yang sudah dimakan umur mengakibatkan dinding temboknya mulai doyong tak mampu menahan beban. Sebagian atapnya pun jebol.
Ironisnya, sekolah itu sengaja dibiarkan mati secara perlahan karena bakal di-regruping dengan sekolah lain.

Diamati dari kejauhan tak ada yang menyangka, gedung sekolah mirip gudang tua yang tak dipakai itu masih digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Padahal, kondisinya cukup memprihatinkan dan sangat membahayakan keselamatan jiwa siswa serta guru yang mengajar di dalam gedung sekolah tersebut.

Dari tiga lokal bangunan yang sudah rusak parah, hanya satu lokal yang bisa dipergunakan. Itupun kondisinya sebenarnya tidak beda jauh dengan dua lokal kelas yang tak dipakai lagi karena sudah mulai hampir roboh. Tapi karena tak ada pilihan lain, pihak guru pengajar terpaksa mengunakan satu lokal yang tersisa untuk kegiatan mengajar.

Keterbatasan sarana pendidikan membuat 6 kelas yang ada dijadikan dalam satu ruangan, berkumpul dengan ruang guru disekat dengan lemari. Bisa dibayangkan suasana ruang kelas sangat gaduh karena para guru masing-masing kelas saling menerangkan pelajaran.

Jumlah siswa yang belajar di sekolah itu sudah suatu hal yang menyedihkan. Jumlah siswa mulai dari kelas 1 sampai 6 hanya ada 30 murid saja.

”Beginilah kondisi sekolah kami, permohonan bantuan rehab gedung sekolah tidak pernah ditanggapi, karena alasan jumlah siswa yang sedikit. Padahal siswa justru tidak mau bersekolah di tempat kami karena takut dengan kondisi bangunan sekolah yang hampir roboh. Lalu gimana kami bisa mengajak siswa sekolah, jika gedungnya tidak diperbaiki, ” keluh Bambang Budiono SPd, kepala sekolah (Kasek) SDN Asem Nunggal 2, ditemui Selasa (21/10).

Dalam kondisi sekolah yang teramat buruk, Bambang yang baru bertugas setahun sebagai kasek di sekolah tersebut mengaku khawatir sewaktu-waktu gedung sekolah yang dibangun tahun 1981 lalu mendadak roboh dan menimpa para siswa dan guru yang mengajar. ”Jika angin kencang, kami terpaksa memberikan pelajaran di halaman sekolah karena khawatir atapnya ambrol dan temboknya runtuh,” ceritanya. ”Bahkan apabila musim hujan para siswa sering dipulangkan lebih awal atau malah kami liburkan, karena atapnya bocor sehingga ruang kelas tergenang air hujan,” tutur pria asal Banyuwangi ini dengan nada memelas.

Kondisi ini jelas menjadi pertimbangan para walimurid untuk menyekolahkan putera-puteri mereka. Banyak orangtua yang memilih sekolah lain daripada harus menghadapi resiko tertimpa atap yang sewaktu-waktu terjadi.

Berbagai upaya menarik siswa melalui pendekatan kekeluargaan berulang dilakukan pihak sekolah, tetapi tetap tak membuahkan hasil. Para wali murid tetap bersikukuh menolak anaknya bersekolah di tempat tersebut dan memilih menyekolahkan di madrasah ibtidaiyah (MI).

”Padahal, anak usia sekolah masih banyak di desa ini, tetapi kami kalah bersaing dengan MI,” ujar Bambang.


Dikatakan, kini jumlah murid kelas 1 tinggal 3 siswa, kelas 2 sebanyak 11 siswa, kelas 3 hanya 7 siswa, kelas 4 bahkan hanya 2 siswa, sedangkan kelas 5 dan 6 tinggal 3 siswa. ”Lama kelamaan bisa habis anak didik kami,” ujarnya.

Dibiarkan Mati

Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kec. Jrengik, Mohammad Hasyim, ketika dikonfirmasi terkait kondisi bangunan SDN Asem Nungggal 2, menegaskan, sekolah tersebut memang harus ditutup atau paling tidak di-regruping dengan sekolah terdekat. Pasalnya, kata Hasyim, jumlah siswanya di bawah standar ketentuan yang berlaku, sehingga tidak mungkin mendapat bantuan rehab gedung sekolah. Dengan lain, ’kematian’ alias penutupan sekolah menjadi keniscayaan.

”Upaya penyelesaian satu-satunya adalah menutup sekolah tersebut, karena pengajuan bantuan rehab sudah tidak memungkinkan lagi, terbentur oleh jumlah siswa yang sangat sedikit. Namun penutupan sekolah akan dilakukan secara bertahap sampai siswa tuntas menyelesaikan sekolahnya, jadi pihak guru tidak boleh membuka pendaftaran siswa baru,” jelas Hasyim.

Menurut Hasyim, berdasarkan data yang ada, 40 SDN yang tersebar diseluruh Kec. Jrengik, kini tinggal 20 sekolah yang terancam bakal ditutup. Rata-rata kondisinya hampir serupa dengan keadaan SDN Asem Nunggal 2. Kendala jumlah murid yang sedikit penyebab utama sekolah tersebut ditutup. ”Jika mengacu ketentuan dari pusat, minimal jumlah siswa dalam satu sekolah sebanyak 90 murid. Tapi kenyataannya untuk mencapai jumlah siswa sebanyak itu sangat sulit, terutama di pelosok desa. Selain itu kebijakan pemerintah pusat yang terlalu banyak membangun SD inpres, tidak sebanding dengan jumlah anak usia sekolah, sehingga kini banyak sekolah yang ditutup karena kekurangan siswa,” katanya. (Achmad Hairuddin)

Sumber: Surabaya Pos, Sabtu 25/10/2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home