Bisakah Orang Madura Bangkit

Tokoh-tokoh Madura baru saja menggelar Kongres Kebudayaan Madura (KKM).Acara yang digagas kaum muda itu dimaksudkan sebagai tonggak kebangkitan budaya Madura yang kian hari kian redup.


Tak heran, jika pagelaran budaya sangat mendominasi rangkaian acara tersebut. Begitu mendengar istilah kongres, siapapun akan terbayang dengan perdebatan sengit di antara peserta. Bayangannya, para peserta saling berdebat mencari cara terbaik untuk mempertahankan eksistensi budaya Madura. Namun, rupanya angan-angan itu terlalu jauh. Sebab, dalam pelaksanaannnya, kongres yang dipusatkan di salah satu hotel ternama di Sumenep ini hanyalah ajang kumpul tokoh-tokoh Madura.


Memang, kegiatan itu dipungkasi dengan rapat komisi yang membahas dinamika kebudayaan Madura. Mulai tata bahasa, budaya, kesenian, religiusitas hingga keberadaan pendidikan Islam (pesantren) di Madura. Namun kalau boleh penulis kritisi, ternyata hal-hal yang seharusnya menjadi pokok materi kongres tidak mendapatkan porsi yang memadahi. Buktinya, selama tiga hari mereka berkumpul, pembahasan materi pokok ternyata tak lebih dari lima jam.


Sungguh naif, jika ini dikatakan sebagai sebuah kongres. Terlepas apakah penulis terlalu rumit memaknai kongres, ataupun terjadi perbedaan persepsi terhadap makna kongres, yang jelas beberapa peserta mengeluhkan format acara itu. Bahkan, seorang rekan wartawan dari ibu kota yang jauh-jauh datang meliput acara ini, terpaksa mengernyitkan dahi. Pasalnya, dia bayangkan, seperti diskusi dan perdebatan dari siang hingga malam seperti laiknya dalam kongres tidak terlihat sama sekali. Yang terjadi justru sebaliknya, kegiatan itu lebih didominasi seminar yang memaksa peserta kongres mendengarkan orasi dari beberapa nara sumber.


Terlepas dari berbagai penilaian tersebut, KKM harus diakui sebagai sejarah baru yang terjadi di Madura. Apalagi, pencetusnya kaum muda yang nasih peduli dengan nasib warisan leluhur. Satu hal yang perlu diperhatikan, acara ini hanyalah seremonial untuk menggugah kembali rasa kemaduraan orang-orang Madura yang banyak lupa akan warisan leluhurnya.Tentu saja, dengan hanya bertumpu pada KKM untuk mengubah sikap dan mental orang Madura merupakan hal yang absurd.


Selain harus menghilangkan stereotipe yang melekat pada dirinya,orang Madura harus berjuang melawan bangsanya sendiri. Sebab, saat ini tidak sedikit orang Madura merasa malu jika identitas kemaduraannya diketahui masyarakat luas. Akibatnya, mereka berusaha menghilangkan jejak-jejak Madura sejak dini. Hal itu bisa dilihat jumlah orang Madura yang fasih berbahasa Madura baik ngoko (mapas), krama (besah), krama inggil (besah alos) bisa dihitung dengan jari. Saat ini, jarang sekali menemukan orang Madura yang berani mengucapkan ”Madura Akulah Darahmu” seperti dalam sajak D Zawawi Imron. Namun, bukanlah orang Madura kalau cepat menyerah dan putus asa dengan apa yang terjadi.


Abhantal omba' asapo' angin (berbantal ombak berselimut angin), begitulah prinsip yang selalu dipegang orang Madura. Sepenggal kalimat yang mengisahkan etos kerja orang Madura. Selama ini, mereka dikenal ulet, bekerja keras dan bersikap tegas. Hemat penulis, sepenggal kemelut yang muncul dalam KKM kali ini harus disikapi secara arif. Sehingga, ketakutan peserta kalau kongres budaya ini tak berdaya dan membudaya bisa dihindari.Tonggak kebangkitan budaya (orang) Madura ada di tangan kaum muda.Kalau mereka tetap semangat dan tak mudah terprovokasi, niscaya kebangkitan Madura yang diinginkan dalam KKM ini bisa tercapai.Semoga!
(AHMAD BAIDOWI)


Sumber: Seputar Indonesia, Senin, 12/03/2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home