Kongres Kebudayaan Madura
Sebuah Langkah Penyelamatkan Kebudayaan Adiluhung
HIDUP yang keras dan kekerasan telah menjadi stereotipe etnis bagi orang Madura yang melekat sampai sekarang. Seperti carok, yakni perkelahian dengan menggunakan senjata tajam, yang masih kerap terjadi hingga sekarang, menperkuat pandangan negatif orang luar kepada orang Madura.
Padahal, banyak orang luar Madura yang pernah singgah di Pulau Garam ini mengaku bahwa orang Madura adalah orang yang ramah, jauh dari sangkaan negatif tersebut. Sesungguhnya, masih banyak nilai-nilai adiluhung dari kebudayaan Madura yang belum dikenal oleh orang luar.
Sesungguhnya pula, banyak nilai-nilai budaya dan karya-karya seni-budaya bertebaran di Pulau Madura. Nilai-nilai dan karya-karya budaya itu sampai sekarang masih hidup di tengah masyarakat. Bahkan, dengan sejarah tingginya migrasi orang-orang Madura, nuansa Madura masih sangat terasa di Jawa Timur bagian timur, mulai Bangil hingga ke Banyuwangi. Jadi, kebudayaan Madura telah mengalami difusi ke luar.
Kongres Kebudayaan Madura yang bakal digelar di Songennep (Sumenep) pada 9-11 Maret 2007, sebagai salah satu langkah menyelematkan kebudayaan Madura. "Kita berharap bisa melihat konvigurasi kebudayaan kita dewasa ini dan menyiapkan strategi kebudayaan untuk masa depan masyarakat Madura yang lebih baik dalam berbagai aspeknya. Dalam kehidupan global dewasa ini, dimana kebudayaan cenderung bersifat maya dan mengambang, tradisi dan kebudayaan lokal merupakan tanah tempat kebudayaan kita begitu konkret dan berakar kuat, serta mungkin menjuntaikan buah yang ranum ke dunia luar. Dengan cara itu, kebudayaan Madura akan memberikan sumbangan berarti pada kebudayaan nasional, bahkan kebudayaan global," kata Jamal D. Rahaman, Pemred Majalah Horison yang merupakan putra Sumenep.
Perlu diakui pula, arus modernisasi lambat laun telah menggerus nilai-nilai budaya masyarakat Madura. Kita tidak bisa menyalahkan arus modernisasi itu, kecuali kita punya kearifan lokal yang bisa membendungnya. Salah satu contohnya, Bahasa Madura yang menjadi salah satu unsur penting dari kebudayaan Madura, nyaris tak dipakai lagi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam konsep kebudayaan, bahasa menunjukkan bangsa.
Begitu juga dengan masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar dari masyarakat Madura, menjadi salah satu faktor tidak berkembangnya kebudayaan Madura. Dari tahun ke tahun, kebudayaan Madura mengalami stagnasi. Belum ada upaya serius dari pemerintah atau masyarakat Madura sendiri untuk menggali, mengembangkan, dan melestarikan kebudayaan dan hasil karya kebudayaan Madura.
Masyarakat Madura yang mayoritas bergama Islam, dikenal sebagai penganut Islam yang kuat. Corak kehidupan masyarakat dilandasi agama dan kultur Islam yang masih kuat dalam pola hidup kesehariannya. Di masyarakat Madura, menurut Abdurahman (1991), tidak dikenal Islam abangan. Sebab, katanya, golongan yang bukan santri hampir tidak ada, karena orang Madura hampir semuanya pernah mengaji di pondok pesantren/madrasah-madrasah atau langgar.
Seiring dengan arus modernisasi yang terus menggempur masuk Madura, tidak mengubah tradisi dan kultur masyarakat Madura secara besar-besaran. Namun demikian, benturan antara budaya tradisional dengan modern memang tidak dapat dielakkan. Di sinilah pondok pesantren punya peranan penting bagi masyarakat dan kebudayaan Madura, terutama dalam pendidikan moral dan agama.
Begitu juga dengan pembangunan jembatan Suramadu, akan semakin membuka Madura dari dunia luar. Arus barang, jasa, juga orang akan lebih padat, yang bisa membawa peradaban baru masuk Madura. Apalagi jika kemudian muncul industrialisasi Madura. Tentunya, itu adalah tantangan bagi masyarakat Madura untuk berusaha agar kulturnya tidak terkikis. Jika bukan masyarakat Madura sendiri yang melakukan, siapa lagi? Jawabnya, orang Madura sendiri yang bertanggung jawab terhadap kebudayaannya.
Maka, tantangan bagi penyelamatan kebudayaan Madura sungguh sangat besar. Dengan berbagai kompleksitas di atas, dalam Kongres Kebudayaan Madura bakal membahas secara komprehensif 3 pokok pikiran. Yakni, Orang Madura, Pendidikan dan Pesantren, dan Seni Budaya, dan Bahasa Madura. Ketiga pokok pikiran itu akan dibahas dalam 3 komisi pula.
Perkembangan yang menarik, setelah diadakan pra kongres di Pamekasan pada 3 Maret lalu, budayawan yang hadir dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep sangat merespons dan mendukung Kongres Kebudayaan Madura ini. Saat pra kongres, yang banyak dibahas adalah soal Bahasa Madura dan seni budaya Madura. Dengan memprediksi bakal "beratnya" pembahasan, maka di Komisi Seni, Budaya, dan Bahasa dipecah lagi menjadi tiga komisi, yakni subkomisi kesenian, subkomisi budaya, dan subkomisi Bahasa Madura.
Yang menarik juga, para peserta pra kongres mengingatkan tindak lanjut pasca kongres. Mereka berharap, selain menghasilkan keputusan-keputusan dan rekomendasi, ada tindak lanjut konkret pasca Kongres Kebudayaan Madura. Ada yang mengusulkan perlu dibentuk Dewan Kebudayaan Madura, yang anggotanya para pegiat seni dan budaya se Madura.
Sesungguhnya, masih banyak pekerjaan rumah bagi masyarakat Madura untuk menyelematkan dan mengembangkan kebudayaannya. Hal ini bukanlah tanggung jawab orang perorang, lembaga perlembaga, tapi tanggung jawab semua elemen masyarakat Madura. Baik yang berada di Madura sendiri maupun yang di luar Madura sana. Tanpa suntikan "darah" semangat itu, mustahil kebuadayaan Madura bisa diselamatkan dari gerusan kebudayaan global. Mengutip judul puisi D. Zawawi Imron: "Madura Akulah Darahmu". (mat)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 05 Mar 2007
Labels: kebudayaan, kongres, madura, peristiwa, sumenep
0 Comments:
Post a Comment
<< Home