Badai Dibalik Pesta Demokrasi Desa
Sumenep, Surya - Pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) di Kabupaten Sumenep masih belum berjalan sesuai harapan. Para calon kepala desa yang kalah masih belum legawa menerima kekalahannya secara ksatria. Akibatnya, sejumlah fasilitas umum seperti makam, sekolahan dan pasar desa menjadi sasaran konflik buntut pilkades. Berikut liputannya.
Tahun 2007 ini, Pemkab Sumenep mengagendakan 226 pemilihan kepala desa (pilkades), baik di wilayah daratan dan kepulauan. Dari jumlah itu yang terlaksana baru 128 desa, berarti masih ada 98 desa lagi yang akan menggelar pesta demokrasi pilkades.
Setelah separuh lebih desa yang melaksanakan pilkades, berbagai persoalan mulai bermunculan. Mulai perseteruan antarpendukung, perselisihan antarkeluarga, pertengkaran antara saudara yang berbeda pandangan dalam mendukung bakal calon kades, hingga pertikaian antar tim sukses masing-masing calon.
Tidak hanya itu, imbas dari pelaksanaan pilkades adalah rusaknya berbagai tatanan desa. Malahan antara kelompok massa pendukung saling unjuk kekuatan dengan cara mengerahkan massa. Misalnya, dengan berunjukrasa karena tidak puas dengan hasil pilkades di desanya.
Fenomena yang terjadi di Sumenep belakangan ini adalah rusaknya berbagai fasilitas umum milik masyarakat akibat dampak pilkades. Fasilitas umum yang menjadi itu seperti pembongkaran makam, penutupan sekolah termasuk penggusuran pasar desa.
Kasus pembongkaran 49 makam terjadi di Desa Ketawang Daleman, Kecamatan Ganding, Sabtu (27/1) lalu. Ini terjadi karena pihak calon yang kalah dalam pilkades tak rela tanahnya yang selama ini digunakan sebagai pemakaman umum tetap dihuni makam keluarga besar calon yang menang. Pembongkaran paksa 49 makam itu berawal dari pelaksanaan pilkades yang diselenggarakan dua hari sebelumnya yang menampilkan dua calon yakni H Ahmad (mantan kades) dan Achmad Wakid.
Namun pada perhitungan akhir suara, dari jumlah hak pilih sebanyak 1.736 suara, yang tampil sebagai pemenang H Ahmad dengan perolehan suara 831 suara sedangkan Achmad Wakid mengantongi 579 suara, sisanya tidak sah. Kontan saja kekalahan itu menimbulkan reaksi keras pihak yang kalah.
Sewaktu perhitungan suara belum usai, namun sudah dipastikan Achmad Wakid kalah, salah seorang saudaranya yakni H Tayyib mendatangi rumah K Wahed dan K Amir tokoh masyarakat setempat. H Tayyib meminta makam keluarga K Wahed dan K Amir yang dikebumikan di lahan miliknya di Dusun Nangger, Desa Ketawang Daleman dibongkar.
Menyusul desakan itu, K Amir dan K Wahed menyanggupi dengan penuh sukarela akan membongkar dan memindahkan makam keluarganya dari lahan milik H Tayyib. Dan akhirnya pembongkaran makam sebagaimana yang dijanjikan K Wahed direalisasikan oleh para ahli warisnya. "Kendati K Wahed dan K Amir netral, tapi keluarga calon yang kalah menilai biang kekalahan karena kedua tokoh itu memihak calon yang menang," ujar H Faqih,47, Ketua RT 1 Dusun Kon Kokon, Desa Ketawang Daleman.
Kasus lain yang timbul akibat pelaksanaan pilkades, terjadi di Dusun Bates Utara, Desa Bates, Kecamatan Dasuk. Kali ini sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) At-Tarbiyah yang telah bertahun-tahun menjadi prasarana pendidikan warga desa terpaksa ditutup oleh ahli waris pemilik tanah tempat sekolah berdiri. Pilkades Desa Bates sendiri digelar, Sabtu (24/2) lalu.
Akibat konflik itu, puluhan siswanya menjadi korban, sehingga proses belajar mengajar sempat terhenti. Pihak yang kalah dalam pilkades beralasan salah satu faktor kekalahan diduga peran salah seorang pengurus sekolah tersebut. Kebetulan sekolah itu dibangun di atas tanah wakaf dari keluarga calon yang kalah. Bangunan sekolah yang didirikan di atas lahan seluas 687 m2 ditutup oleh sebagian ahli waris dan pendukung calon kades yang kalah. Selain pintunya ditutup, sebagian halaman sekolahnya ditanami puluhan pohon pisang dan kelapa.
Menurut Kepala Sekolah (Kasek) MI At-Tarbiyah, Moh Salamet, bangunan sekolah yang didirikan sejak tahun 1964 itu dibangun di atas tanah milik Adam alias Citro Laksono. Adam yang saat itu menjabat kepala desa merupakan sesepuh Moh Syafiudin calon kades yang kalah. Tanah itu diberikan cuma-cuma untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan.
Dari tahun ke tahun tidak pernah ada perselisihan sehingga keberadaan MI diminati warga karena kualitasnya tak kalah dengan sekolah negeri. "Pada 1991, atas inisiatif ahli warisnya, tanah itu diwakafkan kepada madrasah dan selanjutnya murni menjadi milik madrasah," jelas Salamet.
Namun pelaksanaan pilkades yang berbuntut kalahnya calon yang berasal dari keluarga ahli waris tanah wakaf tidak terima. Lalu, mereka meminta lahan yang ditempati sekolah ditarik kembali dan sekolah disegel kemudian halamannya ditanami pisang dan pohon kelapa. "Padahal saya selaku kepala sekolah dalam pilkades bersikap netral.
Apalagi saya menjabat Ketua Panitia Pilkades. Jadi tidak boleh memihak salah satu calon," tegasnya.
Ditambahkan, selaku kepala sekolah pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Karena sekolah telah ditutup, agar kegiatan belajar mengajar tidak terhenti, sekolah terpaksa dipindah ke rumahnya. Puluhan siswanya melaksanakan kegiatan belajar mengajar darurat di teras rumah dan musholla miliknya. "Semoga ini tidak berlanjut karena kami berharap ada musyawarah kekeluargaan yang mengarah agar proses pendidikan bisa normal kembali," pungkasnya.
Belakangan penutupan sekolah itu, bukan atas perintah calon kades yang kalah Moh Syafiudin. Syafiudin mengaku tidak tahu menahu tentang aksi penutupan sekolah itu, kendati tidak mengelak kalau dugaan penutupan sekolah dilakukan para pendukungnya. "Kami tidak mau karena kalah pilkades kemudian berimbas pada penutupan sekolah," tandas Syafiudin.
Hanya saja niat baik Moh Syafiudin berbeda dengan maksud para pendukung dan keluarganya. Mereka tetap ngotot tanah itu dikosongkan dan sekolah MI At-Tarbiyah dipindah. Karena sebagian keluarga itu tidak tahu serta tidak pernah mewakafkan tanahnya kepada siapapun.
Sementara kasus serupa juga terjadi di Desa Pagar Batu, Kecamatan Seronggi. Sebuah bangunan pasar desa dibongkar paksa oleh pendukung mantan kades Soedarso yang terjungkal dalam pilkades. Kades lama mengaku dana pembangunan pasar itu berasal dari uang pribadinya.
Dibongkarnya pasar desa itu merupakan buntut dari pelaksanaan pilkades hari, Rabu (28/2) lalu. Mantan kades Soedarso yang mengaku mempunyai andil besar pada pendirian pasar desa kalah telak dari calon kades lain. Sudarso mengaku sejak dibangunnya pasar desa semua material bangunan pasar sebagian besar berasal dari uang pribadinya. "Ketika kalah pilkades dia menarik lagi kontribusinya pada pembuatan pasar desa dengan cara membongkar alat-alat bangunan yang terdiri dari kayu dan genteng," ungkap salah satu warga.
Saat ini bangunan pasar ukuran 5 x 15 meter dan beberapa kios non permanen hanya tinggal tiang-tiangnya saja. Para pedagang yang hendak berjualan di pasar yang dibangun tahun 2000-an itu terpaksa menggelar dagangannya di pinggir jalan sekitar pintu masuk ke pasar desa.
Menurut Karso,40, tokoh masyarakat Desa Pagar Batu, sebetulnya tanah pasar desa itu bukan milik mantan kades, tetapi milik Nasra. Pemilik tanah tak keberatan tanahnya digunakan untuk pasar desa, karena sejak dulu dipergunakan sebagai pasar. Nasra sendiri tak menginginkan pasar itu dibongkar. "Ini bentuk ketidakberesan kita dalam menjunjung tinggi proses demokrasi. Mestinya kalau kalah jangan sampai mengganggu kepentingan masyarakat umum," tandasnya.
Pada pilkades di Desa Pagar Batu yang digelar 28 Februari lalu, ada empat calon yakni, Alwi sebagai pemenang memperoleh 992 suara, Imam Daud 933 suara, Sudarso 831 suara dan Agus Salim 197 suara.
Calon Tidak Siap Kalah
Munculnya aksi tidak terpuji dibalik pelaksanaan pilkades sangat disesalkan. Apalagi Pemkab Sumenep jauh sebelum pelaksanaan pilkades telah beberapakali memberi pengarahan untuk menerima apapun hasil keputusan yang diambil masyarakat.
"Calon harus siap kalah dan siap menang. Kesanggupan itu tidak saja diucapkan oleh masing-masing calon, tapi juga dilakukan secara tertulis," ujar Drs H Achmad Amsuri, Kabag Pemerintahan Desa Pemkab Sumenep.
Ditambahkan, berbagai upaya agar pelaksanaan pilkades berjalan mulus dan tanpa hambatan sudah dilaksanakan. Mulai dari penyuluhan hukum ke masing-masing kecamatan dengan menyertakan sejumlah calon kades hingga secara persuasif kepada sejumlah tokoh masyarakat.
Selain itu, lanjut Amsuri, aksi tidak terpuji itu bukan karena kehendak dari calon kepala desa yang kalah saja, melainkan dilakukan para pendukungnya yang tidak terima atas kekalahan jagonya. Berbagai upaya dilakukan sebagai aksi emosional kepada calon yang menang.
"Mestinya, jika ada di antara calon atau pendukung yang tidak terima dengan kekalahan dapat menempuh jalur hukum. Bukan malah melampiaskan ke hal-hal yang justru dapat merugikan masyarakat umum," katanya.
Belum Siap Berdemokrasi
Sekretaris Komisi A DPRD Sumenep, Drs H Achmad Mawardi, menilai berbagai aksi tidak terpuji dibalik pilkades merupakan indikator masyarakat masih belum siap untuk berdemokrasi. Para calon masih belum siap kalah dan belum siap menang.
"Faktor penyebabnya mungkin mereka tidak terima, karena biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti pilkades itu cukup besar," ujar Achmad Mawardi.
Dikatakan, kejadian pembongkaran makam, penutupan gedung sekolah dan pembongkaran pasar, bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan desa dan proses demokrasi selanjutnya. Karena itu, kasus ini harus mendapat perhatian khusus dari pemkab untuk melakukan berbagai upaya agar kasus serupa tidak terulang kembali.
"Jika hal ini tidak segera diantisipasi, pasti akan muncul lagi kasus yang sama jika salah satu calon yang dijagokan ternyata kalah," katanya. Selain itu, lanjut Mawardi, kejadian itu tidak akan terjadi jika pelaksanaan pilkades dilakukan sesuai dengan peraturan daerah (perda) yang ada. Karena sesuai pengamatannya, justru banyak pelaksanaan pilkades yang keluar dari ketentuan perda.
Salah satunya tidak dilakukan pilkades secara serentak. "Kami berkeyakinan jika pilkades dilakukan serentak lebih menekan berbagai konflik yang akan timbul," tambahnya. Selain itu faktor kurang cermatnya pemerintah seperti camat dan panitia pilkades melakukan pendekatan secara persuasif kepada masing-masing calon untuk menekan para pendukungnya. Lebih-lebih jika para tokoh membentu memberikan pengertian kepada masyarakatnya.
Disulut Para Petaruh
Ketua LSM Syiar Madura, Drs HM Sajali SH MM, erpendapat munculnya anarkisme dengan sasaran fasilitas umum pasca pilkades akan membuat orang luar menilai masyarakat Sumenep belum siap berdemokrasi. "Kasus ini menjadi contoh masyarakat kita masih sangat awam dalam berdemokrasi. Masyarakat masih gampang tersulut emosinya hanya karena kalah dalam pilkades," tandas Sajali.
Menurut Sajali, aksi anarkisme pasca pilkades lebih banyak dipanas-panasi oleh orang luar. Seperti dari kalangan petaruh yang kalah karena jagonya yang menjadi taruhan dalam pilkades ternyata kalah.
Karena itu munculnya aksi anarkis dibalik pilkades tidak serta merta dari calon yang kalah saja, tapi juga dari bisikan orang luar. "Karena itu perlunya penegakan hukum dalam setiap pelaksanaan pilkades. Karena hampir pasti, setiap ada pilkades biasanya dibarengi dengan praktik perjudian," ungkapnya.
Menurutnya, perlunya sosialisasi tentang pendidikan berdemokrasi dan pengetahuan hukum ke desa-desa. Karena selama ini penyuluhan hukum yang digagas bagian hukum pemkab hanya dilakukan di kecamatan yang diikuti oleh segelintir orang saja. "Mestinya di desa-desa juga dilakukan penyuluhan hukum dan demokrasi," pungkasnya.st2
Sumber: Surya, 09/03/2007
0 Comments:
Post a Comment
<< Home