Perdagangan Terancam Merosot

Aktivitas perdagangan melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya terancam merosot. Persoalannya, kapal yang bisa melintas di alur pelayaran barat Surabaya terbatas dengan draf maksimal tujuh meter saat air surut terendah.

Aturan tersebut menyebabkan biaya operasional membengkak dan akan membebani pengguna jasa. Pelaku usaha perdagangan, terutama ekspor- impor, kini merasa was-was. Peraturan harus ditaati demi alasan keamanan.

Diperkirakan ongkos untuk forwarding saja meningkat sedikitnya 20 persen, belum termasuk kenaikan ongkos yang lain. "Kondisi ini akan mematikan perdagangan bukan saja di Jawa Timur, tapi juga Indonesia bagian timur karena kapal yang bisa masuk juga menjadi terbatas meski Tanjung Perak seharusnya pelabuhan internasional," tutur Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim Isdarmawan Asrikan, Kamis (6/8) di Surabaya.

Bila biaya operasional naik, pengguna jasa akan membebankan pembengkakan ongkos kepada end user, yaitu konsumen. Menurut Isdarmawan, eksportir tidak mungkin menanggung kenaikan biaya sendiri. Namun, begitu harga bagi konsumen naik, akan memukul perekonomian pada umumnya karena daya beli masyarakat belum pulih. "Sekarang kondisi belum membaik akibat krisis, malah diperparah dengan masalah di pelabuhan," ujarnya.

Hal senada dikemukakan Ketua Gabungan Forwarder dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Jatim Azis Winanda. Pembengkakan biaya yang dialami pelaku usaha kepelabuhanan selanjutnya akan dibebankan bagi konsumen. Hanya saja pihaknya masih melakukan perhitungan terkait aturan yang baru ditetapkan itu. Pipa gas

Pada 31 Juli 2009, Administrator Pelabuhan (Adpel) Utama Tanjung Perak mengeluarkan surat edaran bagi pengguna jasa kepelabuhanan. Dalam surat itu disebutkan, sebagai upaya mewaspadai risiko bagi kapal-kapal terhadap keberadaan pipa gas Kodeco Energy Co Ltd di alur pelayaran Surabaya barat, draf yang direkomendasi tidak boleh lebih dari tujuh meter.

Selain itu, kapal yang akan menunggu dan tambat di Dermaga untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) Maspion, Smelting, dan Petrokimia Gresik tidak dapat berlabuh dan membuang jangkar di kawasan tersebut, mengingat pipa gas yang panjangnya sekitar tujuh kilometer digelar tanpa ditanam.

Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jatim Prijanto mengatakan, bila Adpel Tanjung Perak telah mengeluarkan aturan tersebut, berarti mutlak untuk dipatuhi. Persoalannya, risiko terlalu besar bila draf yang melalui alur pelayaran barat lebih dari tujuh meter. "Adpel bertindak untuk keamanan, tapi persoalannya ada pada pipa gas milik Kodeco yang diletakkan tanpa ditanam," tuturnya.

Selama ini kapal yang melintas maksimal dengan draf 11 meter. Apalagi kalau kapal membawa muatan curah yang menjadi bahan pokok bagi dunia industri, seperti semen dan terigu. Dengan aturan baru, kapal yang membawa muatan curah maupun kargo harus mengurangi muatan. "Contohnya, kalau satu kapal biasanya membawa 2.500 kontainer, sekarang hanya bisa membawa 2.000 kontainer. Hal itu yang membuat biaya membengkak," kata Prijanto. (BEE)

Sumber: Kompas, Jumat, 7 Agustus 2009

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home