Sumenep Bakal Pertahankan Blok Maleo

Sumenep, Jawa Pos - Komisi B berencana akan "ngluruk" Departemen dalam Negeri (Depdagri) di Jakarta. Hal ini menyusul turunnya Permendagri No 8 Tahun 2007 tentang daerah penghasil migas. Pasalnya, aturan baru itu dianggap merugikan daerah terhadap kepemilikan sumur migas di daerah.

Selain itu, legislatif menilai, permendagri itu bersebrangan dengan UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang mengatur tentang pembagian daerah penghasil migas. Buntut keluarnya permendagri itu bakal mengancam kepemilikan daerah terhadap salah satu sumur migas, yaitu Blok Maleo di perairan Gili Genteng.

Berdasar permendagri yang baru keluar bulan Pebruari 2007 yang lalu ini, maka sumur gas tersebut akan menjadi milik Provinsi Jawa Timur. Padahal, menurut Komisi B dan pemkab, blok tersebut merupakan milik daerah. Untuk itu, komisi B bertekad akan mengembalikan hak daerah terhadap sumur yang dipastikan menghasilkan 75 juta M3 migas per hari.

Sebab, jika sumur tersebut menjadi milik kabupaten ini, maka daerah ini akan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 100 miliar sampai Rp 240 miliar dari blok tersebut. "Ini (blok Maleo, Red.), akan tetap kita pertahankan," ujar Wakil Ketua Komisi B Jamaluddin SE kepada koran ini, kemarin.

Bahkan, komisi ini merencanakan akan melakukan klarifikasi dan konsultasi ke Depdagri. Karena semestinya, kata Jamal, terbitnya permendagri itu harus dilalui dengan berbagai peraturan pemerintah sebagai penjabaran dari UU 32 Tahun 2004 terkait daerah penghasil migas. "Permendagri itu terbit tanpa ada penetapan PP kepada wilayah daerah penghasil. Jadi permendagri itu bertentangan dengan UU 32/2004," paparnya.

Sebab, ternyata dalam permendagri baru itu langsung mengklaim bahwa Blok Maleo yang saat ini digarap PT Santos itu milik provinsi. Sehingga, tahun 2006 dan 2007 ini, Sumenep tidak mendapat apa-apa.

Dijelaskan, dalam UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah, pemkab mempunyai kewenangan mutlak untuk mengelola potensi daerahnya. Namun dengan lahirnya Permendagri Nomor 8/2007 tentang daerah penghasil migas, kata dia, ada peluang untuk pemprov dan pusat mengintervensi atau mengelola migas yang ada di daerah.

Diakui, saat ini pihaknya masih terus mengkaji aturan-aturan yang mendasari itu semua. "Kita ingin presure kita membuahkan hasil. Yang pasti kita akan memperjuangkan itu. Karena nilai yang harus diberikan kepada daerah antara Rp 100 miliar sampai Rp 240 miliar untuk partisipasi interest (PI). Itu merupakan 10 persen dari hasil penjualan gas di Blok Maleo," tukasnya.

Menurutnya, jika hal ini tidak diperjuangkan, maka daerah akan kehilangan pemasukan yang cukup besar. "Akan kita lakukan semua langkah, mulai dari protes sampai klas action, sampai berhasil. Apapun alasannya, pemkab harus mempertahankan wilayah penghasil migas kita," tegas Jamal.

Namun, sayangnya koran ini tidak berhasil mendapatkan informasi lebih detil tentang masalah itu dari Kepala Kantor ESDM Sumenep, Drs Fadhillah. Sebab, ketika dikonfirmasi sejumlah wartawan kemarin di gedung dewan, dia menghindar. "Tidak usah, semua sudah dibahas di komisi B," katanya sambil lalu meninggalkan wartawan.

Sedangkan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Sumenep H Ahmad Masuni SE MM kepada koran ini mengakui, dengan permendagri itu, maka kabupaten ini akan kehilangan Blok Maleo. Karena dalam aturan itu ukuran 4 mil ke atas itu milik provinsi.

"Saya tidak tahu secara tehnis, yang tahu itu ESDM. Hasil migas itu ditanda tangani kepala ESDM, saya hanya masalah pendapatannya," ujarnya. Namun, jika permendagri itu benar-benar diterapkan, maka Sumenep tidak akan mendapatkan apa-apa dari sumur gas tersebut. "Memang ada lifting (hasil produksi gas), akan tetapi tidak masuk kepada kas daerah," akunya. Dia juga sepakat jika eksekutif dan legislatif melakukan upaya lobi-lobi pemerintah pusat untuk memperjelas masalah ini. "Perlu ada suatu kejelasan dengan melakukan konsultasi ke pusat, agar hasil migas itu masuk ke daerah," tegasnya. (zr)

Sumber: Jawa Pos, 01/06/2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home